Rabu, 22 September 2010

PAMER, SALAH SATU SIFAT YANG DIMILIKI MANUSIA….

Padahal aku tuh pengen sekali dikarunia Tuhan mewarisi sifat-sifat Nabi, tidak suka pamer tampil apa adanya. Tapi siapakah aku ini, yang tiap saat tak mampu menghindar dari sifat-sifat buruk saya itu.

Aku iri dengan sikap dan sifat tetangga saya ini, pak Gondo namanya. Baginya menikmati hidup sebagai pak Gondo apa adanya dan menikmati apa yang telah didapat itu lebih menyenangkan daripada hidup berpura-pura. Kalaupun berlebih, maka apa yang dimilikinya itu hendaknya yang benar-benar penuh berkah.
Buat pak Gondo harta bukanlah suatu symbol keberhasilan apalagi untuk dipamerkan. Menurutnya memamerkan kekayaan itu sesungguhnya adalah memamerkan kemiskinan, karena ia berharap sedekah rasa cemburu dari org-org yang melihatnya.

Sebagian orang memandang harta sebagai identik dengan kesuksesan. Tidak mengherankan jika mereka seakan terbius pada sihir, ngotot berlari memasuki lorong tak berujung, sekedar mengikuti jejak bijak “waktu adalah uang”. Keinginan menjadi kaya demikian mendikte. Orang-orang demikian akan selalu merasa kurang dan kurang terus, bahkan sampai limit waktu hidupnya.

Pak Gondo pernah berkata, “Kekayaan itu semuanya kan hanya pinjaman, orang sering salah mengartikan antara pinjaman dan miliknya”. Di bawah ini ada kutipan bagus dari sang Maetro WS. Rendra: Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku
Bahwa sesungguhnya ini
hanyalah titipan

Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya: mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku ?

Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu ?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?
Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ?

Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah
kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka,
kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita

Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak rumah, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan

Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.
Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika: aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku

Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah…
Ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar