Rabu, 03 Oktober 2012

MEMAKNAI SAKIT

Terima kasih aku sampaikan kepada Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu berikut ini: Slamet, Alex, Retno, Tati, Arif, Hendri, Nata, Sadar, Hamid, Brondong, Ghofur, Udin, Kamal, Teteh, Hidayat, Mukhlis, Dani, Ateng, Aang dan Sonar atas upaya dan harapannya..... Oh Parotis, engkau telah mengenalkanku kepada mereka, kau beritahu aku tentang sakit, nikmat hidup, kepasrahan, keluh, kesal, sabar, dan banyak hikmah...
Sakit, ketika aku tanyakan kepada dokter, “apakah ada cara lain, obat misalnya selain tindakan operasi?” Dokter menggeleng, “tidak ada obat, harus diangkat!” Bagaimana dengan kata bijak berikut, “Allah menurunkan penyakit juga menurunkan obatnya, hanya kematian dan pikun yang tidak ada obatnya”. Kata-kata itulah yang membuatku lari dari dokter dan mempertemukanku kepada orang-orang yang aku sebutkan di atas (alternatif). Selain ungkapan kata di atas yang mendorongku kepada pengobatan alternatif adalah efek atau dampak dari tindakan dokter jika dilakukan biopsi/pengangkatan parotis, “Saya beri tahu kepada Anda bahwa konsekwensi dari operasi ini, mata Anda akan sulit menutup, bibir akan mencong, dan pendengaran Anda akan tergangu, walaupun Anda berobat di Amerika!” demikian yang disampaikan dokter kepadaku. “Allah telah menitipkan sesuatu padaku...” (sambil aku tunjukkan bagian tubuhku yang terkena sakit) kepada salah satu orang di atas. “Perbanyaklah ucapan al-hamdulillah” demikian jawaban orang itu kepadaku. Ketika Allah SWT menitipkan sesuatu yang baik menurut penilaianku, ucapan al-hamdulillah adalah jawaban yang relevan. Akan tetapi bila Allah menitipkan penyakit, aku yang awam, aku yang jauh dari rasa syukur...untuk mengucapkan al-hamdulillah rasanya berat sekali. Tapi, apa boleh buat, akan aku coba pesan orang itu. Maka mulailah aku mengamalkan saran orang itu, “al-hamdulillah...segala puji bagi Allah” sekuat aku mampu, aku ucapkan kalimat itu sepanjang waktu sambil berusaha berpikir hikmah apa yang terkandung dalam kalimat “segala puji bagi Allah”. Berhari-hari aku akrab dengan al-hamdulillah tetapi, aku belum juga mampu memaknai “segala puji bagi Allah”. Ibarat ujian aku tidak lulus dan penyakit itu masih saja bertengger dengan angkuhnya, kempes atau mengecil saja tidak, masyaallah. Khalifah Umar bin khattab pernah berkata, “aku akan selalu mengucapkan hamdallah 4 kali untuk setiap musibah yang menimpaku, pertama, karena Allah tidak menurunkan musibah yang lebih besar dari musibah itu, padahal jika saja Allah mau, Dia asti bisa melakukannya. Kedua, karena Allah tidak menimpakan musibah pada agamaku. Karena bagiku, tidak ada yang lebih berharga daripada agama. Ketiga, karena Allah telah memberi kesabaran kepadaku, sementara kesabaran balasannya adalah surga. Keempat, karena Allah masih menolongku memperoleh kembali apa yang telah hilang. Sebab, setiap mukmin akan mendapatkan gantinya yang berupa rahmat dan hidayah Allah... Ya Allah berilah aku petunjuk.. Aku sempat berpikir, kalau orang baik itu pasti dapat penjagaan dari Allah diselamatkan dari bahaya. Jadi, karena aku berperangai buruk dan sering melakukan kemungkaran, maka Allah memberiku cobaan. Aku harus tahu diri dan berusaha ikhlas. Tak berselang lama dari pemikiran itu, aku dapat kabar bahwa ustadz Umar guru mengaji di masjid kecelakaan. Sepeda motornya terperosok di got, engsel bahu tangannya lepas. Saat aku menengoknya di rumah sakit bahu tangannya bengkak sangat besar. Pasti sangat sakit, namun beliau tidak menampakkan rasa sakitnya. Beliau nampak tenang dan ikhlas. Ya Allah... Engkaulah pemberi petunjuk yang terbaik. Ketika Allah menyayangi hamba-Nya, maka Allah memberi cobaan kepadanya agar Allah mendengar doa hambanya. Para Rasul dan Nabi Allah tidak lepas dari cobaan-Nya. “Tidak pernah seorang mukmin mendapat perlakukan zalim melainkan Allah SWT akan mengugurkan kesalahan darinya dan meninggikan derajatnya" (HR. al-Hakim). Demikian ustadz Umar berkata dengan mengutip hadist tersebut. Kepicikan pikiranku terjawab sudah oleh kejadian itu. Sadarlah aku bahwa sakit merupakan bukti bahwa Allah SWT menghendaki kebaikan terhadap hamba-Nya. Ilmu yang paling hebat yang ada pada diri manusia adalah sabar. Sering kita mendengar ungkapan bahwa kesabaran itu ada batasnya. Berarti ilmu sabar itu ada tingkatannya. Seperti ungkapan doa yang pernah aku lantunkan ini, “Jika saja benjolan penyakit ini tidak membesar dan akan tetap seperti ini, insyaallah aku dapatkan diriku sabar. Aku akan mendapatkan diriku ikhlas, insyaallah”. Benar itu terjadi, aku menikmatinya dan makin akrab dengan benjolan itu. Bahkan, saat aku raba benjolan itu kurasa mengecil aku tidak senang. Semacam perasaan belum puas dengan perjumpaan yang telah lama hilang dan sesaat lagi aku akan berpisah kembali. Aku merasa belum pantas menerima keajaiban pertolongan dari Allah untuk kesembuhan ini. Parotis telah mengantarku ke pintu-pintu “Rahmat”. Parotis mendekatkanku kepada kesalehan. Subhanallah...Allah pun menjawabnya. Benjolan parotis makin besar dari ukuran semula. Seketika itu wajahku meringis, batinku menjerit sedih. Kesedihan adalah saudara kandung kelemahan. Sedangkan kesabaran adalah saudara kandung kepandaian. Andaikan kesedihan itu ditanya: “Siapa bapakmu? “Dia akan menjawab: “Kelemahan”. Kalau kepandaian ditanya: “Siapa bapakmu”. Dia akan menjawab “Kesabaran”. Demikianlah Allah SWT menunjukkan hikmah kepada hamba yang dikehendaki-Nya. "Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin, sesungguhnya semua perkaranya menjadi kebaikan, dan hal itu tidak pernah terjadi kecuali bagi seorang mukmin: jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur, maka hal itu menjadi kebaikan baginya, dan jika ia mendapatkan musibah, ia bersabar, maka itu menjadi kebaikan baginya" HR. Muslim. Parotis dan aku telah berkelana jauh berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Lain orang lain cara dan metodenya. Ada hal yang konyol pernah aku lakukan karena perintah dari salah seorang di awal tulisan ini, dia berusaha menolong. Setelah dia melakukan terapi, pagi-pagi aku harus ke pantai Ancol membuang telur yang katanya sudah berisi kesialan yang ada pada diriku yang telah dipindahkan ke dalam telur. Membuangnya harus dilaut dan wajib pecah. Namanya juga ikhtiar, berusaha mencari sembuh dan hal-hal yang kurang masuk akal bisa saja aku lakukan, walau jika mengingatnya terasa geli. Dilalah (kebetulan/kesalahan?) telur yang aku lempar tidak pecah. Aku sempat bingung dan bimbang saat aku pengen mengambil kembali telur itu. Namun, aku tidak berani mengambilnya terlalu berisiko jika aku menceburkan diri ke dalam laut. Selain ngeri aku ingat pesan orang yang berusaha menolong-ku itu, “tidak boleh menyentuhnya kembali jika telur sudah kebuang”. Tetapi telur tersebut belum pecah, “bagaimana ini?” Beberapa menit berlalu dan aku masih saja berdiri di sana, mataku tidak lepas dari telur yang timbul tenggelam oleh ombak laut sedangkan pikiranku gamang menatapnya. Tidak lama kemudian ada orang yang mendekatiku dan menawarkan jasa perahu. Sambil aku tersenyum dan menggelengkan kepala, aku tolak tawarannya. Aku butuh jasa yang lain dari orang itu, yaitu mengambil telur yang sempat aku lempar. Orang itu agak ragu, nampak ada penolakan dari orang itu. “Ada amanah dari seseorang, saya harus membuang telur itu di sini dan harus pecah”. Tanpa merinci maksud aku membuang telur itu aku berusaha mengalihkan perhatiannya dan aku sodorkan lembaran uang kertas pecahan Rp50.000,- dan dia setuju untuk membantuku mengambil kembali telur itu. Aku lega karena telur itu kembali padaku. Tanganku yang telah terbungkus sarung tangan dari karet siap menerima telur itu kembali. Kali ini aku harus bisa melempar telur ke dalam laut dan harus pecah. Bibirku merancu, “aku tidak membuang telur, yang aku buang adalah perilaku buruk-ku dan niat jahat seseorang, siapa pun itu”. Dan pecahlah telur itu, isinya berhamburan digulung ombak. Aku menatapnya sesaat sebelum aku meninggalkan tempat itu. Terima kasih-ku aku sampaikan berulangkali kepada orang penjaja jasa naik perahu sekaligus aku berpamitan pulang. Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran orang itu, dia melihatku terus walau aku sudah cukup jauh meninggalkannya. Waktu terus berjalan dan usahaku untuk mencari kesembuhan belum aku dapat. Aku lupa, bahwa banyak orang bisa melakukan pengobatan tapi hanya ada satu yang dapat menyembuhkan yaitu Allah SWT. Sebenarnya banyak yang dapat aku ceritakan di sini yang berkaitan dengan pengobatan alternatif yang sudah aku lakukan dari yang sederhana sampai dengan yang tidak masuk akal. Dari yang berbiaya murah sampai dengan yang mahal, semua itu sudah pernah aku lakukan. “Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari hati yang tidak khusyuk, dan dari ilmu yang tidak bermanfaat, dan dari nafsu yang tidak pernah kenyang, dan dari doa yang tidak lagi didengar.” Ketika iman-ku melorot, putus asa hampir saja menjerumuskanku pada perbuatan kufur. Sesungguhnya aku tidak sakit. Bagaimana mungkin aku dibilang sakit. Sejak hadirnya parotis di tubuhku, aku baik-baik saja. Segala aktifitasku nyaris tidak terganggu. Makan apa pun lahap dan tidur pun nyenyak. Betapa karunia Allah SWT amat besar terhadapku, di luar sana yang lebih parah dariku amat banyak bahkan teman juga sahabatku telah meninggal karena tumor di kakinya. Semoga Allah SWT mengampuni segala dosanya dan memberikan tempat terbaik baginya. Betapa tragisnya dia semasa sakit, dia tidak berdaya oleh tumor yang telah melumpuhkan kakinya. Tak ubahnya seperti bantal dan guling tempatnya hanya di ranjang atau dipan. Sedangkan aku, betapa rapuhnya aku. Hanya benjolan sebesar telur ayam saja telah membuatku meradang. Ya Allah... ampunilah dosaku. “Tak terhingga nikmat yang kita terima dari-Nya, lalu masih ragukah kita akan kekuasaan-Nya. Kita musti belajar untuk selalu baik sangka kepada-Nya melalui tangan-tangan makhluk-Nya”. Wahai parotis akan berhenti di mana kau? Medis-kah? Cara lain-kah? Atau kematian? Hanya Allah SWT yang tahu, maka berikanlah petunjuk padaku. Seketika sms masuk dari sahabat, “Siapapun yang kenal dan yakin bahwa Allah Maha Baik dan Maha Bijaksana, pasti tak akan mengeluhkan apapun yang Dia takdirkan, sahabatku selamat berikhtiar ya”. Teoritis, pragmatis, konkrit dan linier itulah dominasi otak kiri. Berikut ungkapan di bawah ini yang bertolak dengan otak kiri: “Apapun yang dikehendaki Allah pasti terjadi tanpa bisa ditolak/dihalangi oleh siapapun juga, berharaplah hanya kepada Allah, niscaya tak akan kecewa”. Tiap saat tiap waktu aku mengharap Allah menjawab doa-ku. Tapi mana? Begitulah bisikan otak kiri. “Sungguh bagi yang berpuasa doanya tidak ditolak ketika waktu berbuka, mohonlah ampun, rahmat, berkah dan hajat lainnya”. Puasa Senin dan Kamis sudah biasa aku lakukan dan betapa senangnya aku karena sebentar lagi bulan Ramadhan. Peluang untuk diijabah doa-ku sangat besar, ini bulan mulia, bulan penuh berkah, rahmat dan ampunan. Bagaimanakah otak kiri menyikapi ini ketika bulan Ramadhan telah berlalu dan parotis belum hilang dari tubuhku? "Sesungguhnya seseorang akan memperoleh kemuliaan di sisi Allah, ia tidaklah memperolehnya dengan amalan, Allah senantiasa terus mengujinya dengan sesuatu yang tidak disukainya, hingga ia memperolehnya" HR. Abu Hurairah. Betapa melelahkannya perjalanan ini karena hanya satu tujuan kempes dan sembuh. “Apapun yang kita lakukan tidak akan sia-sia di sisi Allah, semua itu ada perhitungannya, ada ganjarannya”. Setiap hari aku melewati Rumah Sakit di mana pertama kali aku berkonsultasi kepada dokter, haruskah aku kembali ke situ. Setiap hari ucapan itu melintas dalam pikiranku. Alam bawah sadar diam-diam bekerja tanpa aku sadari. Dan akhirnya tanggal 3 September 2012 jam 7 malam aku dan parotis harus berpisah ditangan dokter atas kuasa Allah SWT. Dengan segala resikonya aku harus belajar terbiasa dengan kondisi mata sulit tertutup rapat, mulut mencong saat bicara dan tertawa. Aku seperti kehilangan urat senyum. Bentuk senyumku sinis, aku tidak percaya diri saat tersenyum dan tertawa dan pendengaranku berkurang. Tetapi, aku lebih fun dengan kondisiku saat ini. Pesan Baginda Nabi SAW, “Jaga 5 sebelum datang yang 5, hidup sebelum mati. Sehat sebelum sakit. Luang sebelum sempit. Muda sebelum tua. Kaya sebelum miskin”. Terkait dengan sakit, sehat itu mahal, sakit apalagi. Bentuk rasa syukur kita kepada Allah adalah menjaga kesehatan. Olahraga, betapa beratnya bagi orang yang tidak terbiasa. Bagiku, ini sama beratnya dengan ibadah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar