Puisinya yang terkenal adalah Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia. Hatinya memang bergemuruh, melihat kondisi bangsa saat ini. Demokrasi yang kebablasan, sedikitnya minat baca yang menyebabkan ketertinggalan, dan lainnya.
Namun, semua itu tak lantas membuat pria kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu menjadi putus-asa. Berikut saat Taufiq Ismail diwawancarai oleh wartawan sebuah majalah:
Seperti apakah kegundahan Taufiq terhadap kondisi bangsa ini, apa yang hilang dari bangsa kita ini?
Di dalam perjalanan sejarah bangsa kita, dengan seluruh gejolak yang pernah dialaminya, maka apa yang terjadi pada 10 tahun terakhir ini merupakan puncak dari keresahan yang dirasakan luar biasa sekali oleh bangsa kita. Meliputi seluruh bidang kehidupan. Hal itu dimulai dengan represi yang dilewati sesudah 39 tahun. Tujuh tahun masa demokrasi terpimpin, dan 30 tahun masa demokrasi pembangunan, hingga kemudian pada tahun 1998-1999 ibarat bendungan, keresahan itu jebol.
Sejak saat itu, semua tatanan sosial dan semua faktor-faktor kemasyarakatan yang ada, ikut hanyut, terbang, dan sangat mengkhawatirkan.
Memang kita pada awalnya merasa segar dengan adanya kebebasan menyatakan pendapat yang disebut demokrasi. Demokrasi itu pun sudah luar biasa terbukanya. Menerbitkan surat kabar, majalah, tak perlu lagi ada izin. Orang-orang bicara dengan sangat bebas, dan banyak lagi hal lainnya yang membuat bangsa-bangsa atau negara-negara lain sangat cemburu dengan bangsa kita, karena kebebasan itu.
Hal ini kita nikmati dua, tiga tahun. Dan sekarang sudah masuk ketahun kesepuluh, dan ternyata bablas. Ada nilai-nilai luhur di dalam masyarakat, yang ikut jebol bersamanya: kejujuran, keimanan, tenggang-rasa, tanggungjawab, penghargaan terhadap hak orang lain.
Korupsi pun merajalela. Saat ini, orang sudah dengan mudahnya mengambil hak orang lain, dengan sangat luar biasa, hingga moralitas tak lagi diperhatikan, dan seterusnya.
Masih bisakah kita berharap bahwa pendidikan kita dapat memulihkan apa yang terhanyut dalam gelombang reformasi di negeri ini?
Akan makan waktu yang lama. Karena, kebebasan yang ada saat ini sudah betul-betul salah kaprah. Seperti bendungan yang telah jebol. Ibarat kendaraan yang remnya sudah blong. Bisa diperbaiki, namun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Apakah tidak ada kekhawatiran bahwa gerakan ini hanya akan jadi gerakan yang instan. Mungkin kalibrasinya hanya bertahan beberapa tahun saja?
Tentu saja kekhawatiran itu ada. Namun saya optimis dan akan terus berdoa. Dulu, meski kontak tidak sering, saya mendengar bahwa akan didirikan sebuah gedung, dan ternyata sekarang sudah berdiri, meskipun belum 100%, dengan berbagai kegiatan di dalamnya.
Kalau dari khazanah budaya kita sendiri, sebetulnya apakah kita pantas untuk optimis bahwa Indonesia pasti akan bangkit kembali?
Insya Allah. Karena, jumlah kita yang sudah banyak. Dan dari jumlah yang banyak ini, ada lapisan yang bersungguh-sungguh. Lapisan itu saat ini seolah terbenam di ujung langit. Karena, yang timbul sekarang segala yang buruk dan tidak menyenangkan. Tapi saya yakin, di atas mendung ini, ada seberkas cahaya. Ada nur, dan nur itu akan mampu menembus langit mendung tersebut. Dan di atas nur itu ada nur lagi, hingga sampailah ia ke bumi kita.
Dulu, para Founding Fathers sudah begitu teliti menyiapkan bangsa ini. Kalau kita lihat risalah sidang BPUPKI, saya kira mereka tidak kalah dengan negarawan mana pun di dunia ini. Mengapa itu tidak muncul lagi?
Dalam naik turunnya gelombang sejarah, maka gelombang reformasi ini, bahananya sangat luar biasa. Dan kita menderita karenanya. Banyak hal positif yang kita terima. Tapi banyak pula negatifnya. Karena ternyata, sekarang ini kita terpaksa bepikir ulang.
Misalnya, mengenai masalah demokrasi, memang bagus betul dengan sistem pemilu yang langsung, seperti yang sudah pernah terjadi. Tapi ternyata, demokrasi seperti sekarang ini luar biasa mahalnya. Untuk pemilihan seorang walikota dan bupati, memakan biaya hingga miliyaran rupiah. Sehingga, ada kasus salah seorang calon bupati yang meminjam uang sampai empat miliyar rupiah. Namun, ia menjadi depresi karena tak terpilih. Dan kalau dihitung-hitung, seandainya dia terpilih, maka dari yang ia pinjam itu setiap bulannya ia harus membayar 200 juta rupiah per tahun. Hal ini membuat saya berpikir, bahwa demokrasi yang ada sekarang ini perlu kita tinjau kembali. Demokrasi yang berlangsung seperti ini, hanya cocok dijalankan oleh negara yang kaya. Kalau ingin menyalonkan diri sebagai anggota legislatif, maka harus sudah memiliki perbendaharaan uang 200 juta hingga miliyaran rupiah, untuk ia masuk dalam dunia politik.
Namun yang terjadi saat ini tidak seperti itu. Justru untuk menyalonkan diri, mereka rela mengutang, dan kemudian mereka akan mencari kekayaan dengan jabatannya itu. Ini satu dari gugusan persoalan bangsa kita. Jadi, saatnya kita berpikir ulang. Dan untuk itu, kita harus tenang, harus memohon kepada Allah.
Kalau dari dunia sastra, generasi Anda usianya baru 30-an tahun, namun mampu berdiskusi dengan sangat baik, sehingga menghasilkan karya-karya yang bagus. Saat ini, bagaimana?
Setiap generasi selalu menyangka bahwa generasi sebelumnya itu hebat. Saya dulu juga seperti itu. Namun, sebenarnya tidaklah demikian. Ada lapisan yang sedang dan akan tumbuh dan sedang menulis, insya Allah bisa. Sekarang keimanan dan ketakwaan itu, yang akan mendampingi amal, itu harus serasi.
Tapi, Anda pernah bilang, sedihnya saat ini pendidikan sastra kita menjadi sastra nol buku. Artinya, kan ada yang salah?
Memang betul. Kita kurang membaca, literasi kita rendah. Dulu, pada zaman SMA Hindia Belanda, kewajiban membaca dalam waktu tiga tahun adalah 25 judul buku. Buku-buku yang dibaca itu ada di kurikulum dan disediakan di perpustakaan. Lalu, dibuatlah resensi yang kemudian diujikan. Sayangnya, hal seperti itu tidak diterapkan pada SMA sekarang. Berapa judul buku yang wajib dibaca siswa SMA? Paling hanya dua, atau mungkin nol.
Begitu pula dengan mengarang. Pelajaran mengarang, dulu adalah satu kali seminggu. Jadi, dalam waktu satu semester, 18 tulisan, 36 tulisan dalam setahun, dan 108 tulisan dalam waktu tiga tahun. Bayangkan, seorang tamatan SMA, pernah mengarang sebanyak 108 halaman.
Banyak sekolah yang saya survei, pelajaran mengarangnya dilaksanakan hanya sekali dalam setahun, ketika naik kelas. Dan judulnya pun sama: Pengalaman liburan di rumah nenek. Hal itu membuat kami para sastrawan merasa gundah. Tapi, alhamdulillah, sepuluh tahun yang lalu, hal ini saya laporkan kepada Menteri Pendidikan Wardiman Djojodiningrat. Wardiman merespon dengan baik. Kami diizinkan untuk melatih para guru. Para guru itulah yang akan melatih murid- muridnya. Saat ini, sudah 2000 orang guru yang kami latih dalam masalah membaca dan mengarang. Bukan hanya sastra. Semua itu dimulai dari membaca, kemudian menulis. Dan dibutuhkan kegigihan untuk hal tersebut. Seperti halnya yang dilakukan seorang wartawan. Karena banyak berlatih itulah, ia bisa menulis.
Mestinya di sebuah negara yang peradabannya maju, setelah tamat SMA, dia sudah membaca 25 judul buku, mampu menulis makalah, skripsi dll. Tidak ada halangan, menulis lancar. Sayangnya, di negara ini, di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen sakit kepala karena memeriksa skripsi dan paper yang kualitasnya buruk.
Bahkan, yang menyedihkan, ada beberapa fakultas yang membebaskan penulisan skripsi, dan digantikan dengan praktek kerja lapangan dan interview. Kami para sastrawan melihat ini sebagai satu problem. Sehingga, kami ikut mencari solusinya. Tidak hanya protes, mencela, menyalahkan. Tapi kami langsung ikut melatih. Kami datang ke sekolah-sekolah untuk membawa sastra. Dalam waktu 10 tahun, sudah 260 sekolah di 120 kota di seluruh Indonesia.
Seperti apakah kegundahan Taufiq terhadap kondisi bangsa ini, apa yang hilang dari bangsa kita ini?
Di dalam perjalanan sejarah bangsa kita, dengan seluruh gejolak yang pernah dialaminya, maka apa yang terjadi pada 10 tahun terakhir ini merupakan puncak dari keresahan yang dirasakan luar biasa sekali oleh bangsa kita. Meliputi seluruh bidang kehidupan. Hal itu dimulai dengan represi yang dilewati sesudah 39 tahun. Tujuh tahun masa demokrasi terpimpin, dan 30 tahun masa demokrasi pembangunan, hingga kemudian pada tahun 1998-1999 ibarat bendungan, keresahan itu jebol.
Sejak saat itu, semua tatanan sosial dan semua faktor-faktor kemasyarakatan yang ada, ikut hanyut, terbang, dan sangat mengkhawatirkan.
Memang kita pada awalnya merasa segar dengan adanya kebebasan menyatakan pendapat yang disebut demokrasi. Demokrasi itu pun sudah luar biasa terbukanya. Menerbitkan surat kabar, majalah, tak perlu lagi ada izin. Orang-orang bicara dengan sangat bebas, dan banyak lagi hal lainnya yang membuat bangsa-bangsa atau negara-negara lain sangat cemburu dengan bangsa kita, karena kebebasan itu.
Hal ini kita nikmati dua, tiga tahun. Dan sekarang sudah masuk ketahun kesepuluh, dan ternyata bablas. Ada nilai-nilai luhur di dalam masyarakat, yang ikut jebol bersamanya: kejujuran, keimanan, tenggang-rasa, tanggungjawab, penghargaan terhadap hak orang lain.
Korupsi pun merajalela. Saat ini, orang sudah dengan mudahnya mengambil hak orang lain, dengan sangat luar biasa, hingga moralitas tak lagi diperhatikan, dan seterusnya.
Masih bisakah kita berharap bahwa pendidikan kita dapat memulihkan apa yang terhanyut dalam gelombang reformasi di negeri ini?
Akan makan waktu yang lama. Karena, kebebasan yang ada saat ini sudah betul-betul salah kaprah. Seperti bendungan yang telah jebol. Ibarat kendaraan yang remnya sudah blong. Bisa diperbaiki, namun membutuhkan waktu yang cukup lama.
Apakah tidak ada kekhawatiran bahwa gerakan ini hanya akan jadi gerakan yang instan. Mungkin kalibrasinya hanya bertahan beberapa tahun saja?
Tentu saja kekhawatiran itu ada. Namun saya optimis dan akan terus berdoa. Dulu, meski kontak tidak sering, saya mendengar bahwa akan didirikan sebuah gedung, dan ternyata sekarang sudah berdiri, meskipun belum 100%, dengan berbagai kegiatan di dalamnya.
Kalau dari khazanah budaya kita sendiri, sebetulnya apakah kita pantas untuk optimis bahwa Indonesia pasti akan bangkit kembali?
Insya Allah. Karena, jumlah kita yang sudah banyak. Dan dari jumlah yang banyak ini, ada lapisan yang bersungguh-sungguh. Lapisan itu saat ini seolah terbenam di ujung langit. Karena, yang timbul sekarang segala yang buruk dan tidak menyenangkan. Tapi saya yakin, di atas mendung ini, ada seberkas cahaya. Ada nur, dan nur itu akan mampu menembus langit mendung tersebut. Dan di atas nur itu ada nur lagi, hingga sampailah ia ke bumi kita.
Dulu, para Founding Fathers sudah begitu teliti menyiapkan bangsa ini. Kalau kita lihat risalah sidang BPUPKI, saya kira mereka tidak kalah dengan negarawan mana pun di dunia ini. Mengapa itu tidak muncul lagi?
Dalam naik turunnya gelombang sejarah, maka gelombang reformasi ini, bahananya sangat luar biasa. Dan kita menderita karenanya. Banyak hal positif yang kita terima. Tapi banyak pula negatifnya. Karena ternyata, sekarang ini kita terpaksa bepikir ulang.
Misalnya, mengenai masalah demokrasi, memang bagus betul dengan sistem pemilu yang langsung, seperti yang sudah pernah terjadi. Tapi ternyata, demokrasi seperti sekarang ini luar biasa mahalnya. Untuk pemilihan seorang walikota dan bupati, memakan biaya hingga miliyaran rupiah. Sehingga, ada kasus salah seorang calon bupati yang meminjam uang sampai empat miliyar rupiah. Namun, ia menjadi depresi karena tak terpilih. Dan kalau dihitung-hitung, seandainya dia terpilih, maka dari yang ia pinjam itu setiap bulannya ia harus membayar 200 juta rupiah per tahun. Hal ini membuat saya berpikir, bahwa demokrasi yang ada sekarang ini perlu kita tinjau kembali. Demokrasi yang berlangsung seperti ini, hanya cocok dijalankan oleh negara yang kaya. Kalau ingin menyalonkan diri sebagai anggota legislatif, maka harus sudah memiliki perbendaharaan uang 200 juta hingga miliyaran rupiah, untuk ia masuk dalam dunia politik.
Namun yang terjadi saat ini tidak seperti itu. Justru untuk menyalonkan diri, mereka rela mengutang, dan kemudian mereka akan mencari kekayaan dengan jabatannya itu. Ini satu dari gugusan persoalan bangsa kita. Jadi, saatnya kita berpikir ulang. Dan untuk itu, kita harus tenang, harus memohon kepada Allah.
Kalau dari dunia sastra, generasi Anda usianya baru 30-an tahun, namun mampu berdiskusi dengan sangat baik, sehingga menghasilkan karya-karya yang bagus. Saat ini, bagaimana?
Setiap generasi selalu menyangka bahwa generasi sebelumnya itu hebat. Saya dulu juga seperti itu. Namun, sebenarnya tidaklah demikian. Ada lapisan yang sedang dan akan tumbuh dan sedang menulis, insya Allah bisa. Sekarang keimanan dan ketakwaan itu, yang akan mendampingi amal, itu harus serasi.
Tapi, Anda pernah bilang, sedihnya saat ini pendidikan sastra kita menjadi sastra nol buku. Artinya, kan ada yang salah?
Memang betul. Kita kurang membaca, literasi kita rendah. Dulu, pada zaman SMA Hindia Belanda, kewajiban membaca dalam waktu tiga tahun adalah 25 judul buku. Buku-buku yang dibaca itu ada di kurikulum dan disediakan di perpustakaan. Lalu, dibuatlah resensi yang kemudian diujikan. Sayangnya, hal seperti itu tidak diterapkan pada SMA sekarang. Berapa judul buku yang wajib dibaca siswa SMA? Paling hanya dua, atau mungkin nol.
Begitu pula dengan mengarang. Pelajaran mengarang, dulu adalah satu kali seminggu. Jadi, dalam waktu satu semester, 18 tulisan, 36 tulisan dalam setahun, dan 108 tulisan dalam waktu tiga tahun. Bayangkan, seorang tamatan SMA, pernah mengarang sebanyak 108 halaman.
Banyak sekolah yang saya survei, pelajaran mengarangnya dilaksanakan hanya sekali dalam setahun, ketika naik kelas. Dan judulnya pun sama: Pengalaman liburan di rumah nenek. Hal itu membuat kami para sastrawan merasa gundah. Tapi, alhamdulillah, sepuluh tahun yang lalu, hal ini saya laporkan kepada Menteri Pendidikan Wardiman Djojodiningrat. Wardiman merespon dengan baik. Kami diizinkan untuk melatih para guru. Para guru itulah yang akan melatih murid- muridnya. Saat ini, sudah 2000 orang guru yang kami latih dalam masalah membaca dan mengarang. Bukan hanya sastra. Semua itu dimulai dari membaca, kemudian menulis. Dan dibutuhkan kegigihan untuk hal tersebut. Seperti halnya yang dilakukan seorang wartawan. Karena banyak berlatih itulah, ia bisa menulis.
Mestinya di sebuah negara yang peradabannya maju, setelah tamat SMA, dia sudah membaca 25 judul buku, mampu menulis makalah, skripsi dll. Tidak ada halangan, menulis lancar. Sayangnya, di negara ini, di beberapa perguruan tinggi, dosen-dosen sakit kepala karena memeriksa skripsi dan paper yang kualitasnya buruk.
Bahkan, yang menyedihkan, ada beberapa fakultas yang membebaskan penulisan skripsi, dan digantikan dengan praktek kerja lapangan dan interview. Kami para sastrawan melihat ini sebagai satu problem. Sehingga, kami ikut mencari solusinya. Tidak hanya protes, mencela, menyalahkan. Tapi kami langsung ikut melatih. Kami datang ke sekolah-sekolah untuk membawa sastra. Dalam waktu 10 tahun, sudah 260 sekolah di 120 kota di seluruh Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar