Jumat, 16 Maret 2012

DALAM GELAP TERSIMPAN CAHAYA TERANG

 Saya kok lebih gampang terharu jika melihat atau mendengar tindakan-tindakan heroik orang lain. Saya juga pengen mencontohnya, melakukan hal yang sama. Itu ketika saya tertegun, larut dalam pencitraan tokoh itu.
Jeleknya, ketika saya keluar dalam suasana memikat itu, kembalilah saya kepada sifat aslinya. Jauh dari apa yang telah dilakukan oleh tokoh itu.
Tokoh berikut ini, semoga menginspirasi pembaca, begini kisahnya:

Seorang bapak paruh baya, penyandang cacat tuna netra beristri satu dan telah mempunyai satu anak, dengan dipandu oleh sebuah tongkat menyibak padatnya Jakarta. Setiap jam tujuh malam si bapak keluar rumah menuju tempat kerja ke rumah-rumah orang yang telah mengenal dan menjadi pelanggannya. Sudah bertahun-tahun dia telah menjalani profesi sebagai tukang pijat, membantu me-rileksasi pelanggan, mengendorkan urat saraf sebagian masyarakat Jakarta dari lelah setelah seharian mereka bekerja.

Pelajaran yang bisa kita dapatkan dari pekerjaan si bapak adalah, dia bekerja ketika sebagian besar masyarakat Jakarta pulang kerja dan si bapak pulang kerja di saat orang-orang terlelap tidur. Begitulah rutinitas si bapak seharian. Alhamdulillah, segala puji milik Allah yang telah memberikan nikmat berupa sehat kepada saya dan keluarga saya.
Banyak orang yang bermata sehat, tetapi banyak pula yang pura-pura buta dan merasa tidak tahu. Tidak bisa membedakan mana yang hak dan mana yang bathil, mana yang halal dan mana yang haram dan berlakulah hukum aji mumpung. Kapan lagi, mumpung ada kesempatan, sikat aje bleh. Begitulah bisikan Iblis.

Di sebuah kawasan Jakarta ada sebuah masjid, setiap minggu pagi jam 7 – 9 diadakan pengajian. Hadir dalam pengajian itu adalah si bapak (tokoh dalam cerita di atas). Si bapak diantar oleh putera satu-satunya dan isteri tercintanya. Si anak memegang ujung tongkat si bapak dan tangan kiri si bapak bergandengan dengan tangan isterinya. Sesampai di masjid itu mereka membaur dengan jamaah lainnya dan topik pengajian kali ini adalah tiket menuju surga.
Narasumber dalam pengajian itu menuturkan bahwa, “tiket menuju surga itu simple, sederhana. Setiap orang yang telah berikrar mengucapkan syahadat dan tidak pernah menyekutukan Allah, maka dia berhak mendapatkan tiket menuju surga. Dan di dalam surganya Allah itu, diceritakan banyak kenikmatan bahkan kenikmatannya berlipat-lipat dari kenikmatan di dunia.” Namun, ustad tadi mengingatkan bahwa itu baru tiket. Untuk mendapatkan kesempatan menikmati berbagai kenikmatan yang dijanjikan Allah tersebut seorang hamba musti mempunyai “KTP Surga”.

Lalu, bagaimana untuk mendapat “KTP Surga” tersebut? Dengan tiket ke surga seorang hamba hanya berhak melihat penghuni / penduduk surga, betapa bahagianya penduduk surga mendapatkan berbagai fasilitas istimewa dari Allah SWT. Ustad tersebut merinci bahwa untuk mendapatkan “KTP Surga” seorang hamba tidak cukup hanya berikrar dengan kalimah toyyibah bahwa, “Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.” Jika seorang hamba telah melakukan amal sholeh, sholat, membayar zakat dan sedekah serta amalan ibadah lainnya, maka ia berhak mendapatkan “KTP Surga” tersebut dan masuklah ia ke dalam surga Allah, ia kekal di dalamnya selama-lamanya.
“Hayo, siapa yang berminat pengen dapat “KTP Surga”, ustad menyeru kepada jamaah. Sepontan saja hadirin di masjid itu menjawab, “saya,” dengan mengacungkan telunjuk jari mereka ke atas.

Setelah ceramah agama itu selesai dan sebagian jamaah yang lain telah undur diri pulang ke rumah masing-masing, si bapak tokoh kita membisikkan kata-kata kepada puteranya untuk dituntun, diantarkan mendekat kepada ustad. Sesampainya mereka di hadapan ustad, si bapak berkata, “Ustad, seandainya rahmat dan ampunan Allah jatuh kepadaku hingga memasukkanku ke dalam surga-Nya, apakah saya dapat meminta sesuatu kepada-Nya untuk kesembuhan mata saya agar saya dapat melihat rupa isteri dan anak saya?”
“Bisa”, jawab ustad.
“Di dalam surga selain mendapatkan kenikmatan-kenikmatan yang melimpah ruah, seorang hamba secara fisik sangat sempurna, tanpa cacat, dan sangat cantik serta rupawan, itulah janji Allah dan Dia tidak akan mengingkari janji-Nya”, rinci ustad itu.
“Ustad, saya senang, saya bahagia mendengar penjelasan ustad dan saya tidak peduli sampai kapan saya menunggu harapan itu datang, entah seratus tahun lagi, seribu, bahkan milyaran tahun lagi kenyataan itu datang.

Pada cerita kedua ini, yang menarik adalah, bahwa, pengajian ini diadakan setiap hari Minggu pukul 7 – 9 pagi. Ketika sebagian besar masyarakat Jakarta baik orang tua, remaja dan anak-anak menghabiskan waktunya untuk berlibur, jalan-jalan atau lari pagi, bersepeda baik sendiri atau dengan kelompok, dan ada juga yang bersiap-siap untuk shopping di mall-mall, rekreasi atau kegiatan-kegiatan lainnya yang bersifat duniawi. Tetapi, ini tidak berlaku dengan keluarga buta itu, tokoh kita dalam kisah ini.
Ketika anak-anak seusia putera bapak itu (± 9 tahun) pada jam 7 – 9 pagi asyik bermain di taman, nonton TV, dan malah ada yang masih terlelap tidur, justru anak si bapak itu menuntun orang tuanya untuk datang ke masjid menyerap hikmah dalam pengajian tersebut.
Pelajaran yang bisa kita ambil dalam kisah ini adalah, orang dengan penyandang cacat tuna netra mampu mendidik anak-anaknya menjadi anak-anak yang sholeh, harapan dan kebanggaan bagi seorang muslim sejati.
Saya, alhamdulillah dalam kondisi sehat, normal, dan tidak cacat. Namun, susah sekali mengarahkan anak-anak saya pergi ke masjid. Mereka lebih menikmati sajian TV dari pada datang ke majlis-majlis ilmu agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar