Senin, 15 November 2010

POTENSI DIRI

Aku kok tidak yakin sudah bekerja pada bidang yang sesuai dengan bakat yang aku miliki. Potensi apa sih sebenarnya yang ada pada diriku? Aku kok tidak tahu, bagaimana mengidentifikasi dan mengetahui apa sesungguhnya bakat-ku ini?
Aku selalu saja tertarik bila menyaksikan tayangan dari kontes-kontes yang disiarkan di TV, misalnya, Indonesia Mencari Bakat, Indonesian Idol, dan sejenisnya. Aku kagum kepada kontestan-kontestan itu, begitu gemilang mereka punya bakat.
Kita masih ingat dengan pertanyaan yang paling favorit yang sering dilontarkan, yaitu: “Mau jadi apa kamu nanti?” Pertanyaan klise memang. Padahal kalau mau kita renungkan pertanyaan itu menyentuh jati diri kita terdalam.
Profesi yang sekarang kita jalankan hanyalah pantulan dari apa yang terlihat oleh mata hati terhadap diri sendiri. Di cermin itu terlihat apa yang diperkirakan sebagai jati diri kita: bakat, minat, idealism dan karakter yang kemudian menggumpal dan terwujud pada pilihan profesi yang mengisi hidup kita.
Sayangnya, cermin itu kadang kala kabur bahkan buram sehingga gambarnya tidak begitu jelas. Kita lebih mudah melihat dan menilai orang lain ketimbang diri sendiri. Hanya orang-orang yang hatinya telah tercerahkan dan sukses gemilang dalam hidupnya yang mampu melihat potensi dirinya dan apa yang hendak dicapai dalam hidupnya. Apa iya begitu? Sepanjang umurku sampai detik ini belum pernah tahu ada orang yang bicara penuh nasihat, sarat dengan solusi, dan menginspirasi justru orang itu sendiri dalam kondisi sangat susah, jatuh terpuruk? Apa ada orang seperti itu? Saya yakin orang seperti itu ada, tetapi saya belum menjumpainya.
“Gunanya sukses materi adalah membuat kita mampu berkonsentrasi pada hal-hal yang sungguh bermakna.” Itu yang diucapkan Oprah Winfrey.
“Karate itu bak pakaian dalam, dia melekat pada diri kita tapi tak pantas terlihat, apalagi sengaja diperlihatkan.” Itu yang dikatakan Horyu Matsuzaki guru besar Kushin-Ryu Karate-Do.
M. Arief Budiman, penulis buku Tuhan Sang Penggoda, bilang dalam bukunya, “Kesuksesan tak pernah sempurna, makanya kita mesti waspada. Saat kita melewati sebuah tikungan dalam perjalanan ke masa depan, kita tak pernah tahu apa yang menunggu di baliknya. Kesuksesan adalah saudara kembar kegagalan: hanya bentuk dan rasanya yang tidak sama.” Dia berkata seperti ini setelah melewati jalan yang berbukit, tikungan sangat tajam dalam usahanya membesarkan usahanya.
Iya, orang lebih gampang bicara apa saja setelah sukses. Sementara orang-orang yang masih terseok-seok kelelahan dalam jalan yang mendaki dan menjumpai kegagalan saat jalan menurun dalam usahanya, bungkam tak mampu berbagi hal yang menginspirasi. Kenapa? Ga percaya diri dan takkan ada yang percaya. Masak sih?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar