Pemikiran seperti ini banyak mengundang protes,ada yang hanya mengernyitkan dahi,ada yang manggut-manggut dan tidak sedikit yang bengong.
Benarkah manusia membutuhkan Agama? Apa iya manusia percaya Tuhan? Bagaimana dengan orang/kelompok/Negara yang menyatakan anti Tuhan dan menolak agama?
Uni Soviet, RRC maupun Korea Utara ketiganya pernah dikenal sebagai rejim yang memusuhi agama, mereka menyatakan anti Tuhan. Rakyatnya dipaksa menyembah para pemimpinnya. Pemerintah melarang agama, tetapi peraturan dan doktrin partai komunis tak ubahnya syariah agama.
Banyak pemikir dan pemimpin dunia yang mengingkari Tuhan dan anti agama. Namun, di antara mereka ada yang memiliki pengikut besar. Bisa jadi karena kekuatan gagasannya yang tersebar melalui buku-buku, atau karena kekuasaan politik yang dimiliki. Sebut saja di antara mereka adalah Karl Marx, Engels, Lenin, Nietzche, Sartre, Sigmund Freud, Michael Baqunin, August Comte, Charles Darwin, Bertrand Russel dan beberapa nama lain yang pemikirannya berseliweran masuk ruang kuliah di kampus.
Semakin terbukanya jalur, sarana dan forum komunikasi lintas agama, budaya dan bangsa, dunia terasa semakin hiruk-pikuk, termasuk wacana keagamaan. Jutaan buku dan artikel pernah terbit, yang isinya ada yang bernafsu sekali ingin meyakinkan pembacanya bahwa agama tak lagi diperlukan oleh masyarakat modern. Agama tak lebih dari sebuah khayalan orang-orang frustasi dan kalah bersaing dalam perjuangan politik dan ekonomi. Menurut mereka, agama adalah jalan pelarian dari kekalahan. Agama menawarkan hiburan berupa proyeksi dan harapan palsu tentang surga di masa depan agar hidup tetap survive dan beban hidup menjadi ringan. Lebih jauh lagi dikatakan, agama akhirnya jadi sumber masalah sosial, bukannya bagian dari solusi sosial.
Demikianlah, beragam teori dan jutaan lembar buku telah beredar dengan maksud untuk membunuh pemikiran dan gerakan keagamaan. Namun ternyata keyakinan mereka meleset. Agama tidak pernah mati. Kehidupan justru menjadi semakin bermakna ketika agama difahami dan diamalkan dengan benar. Sampai-sampai muncul istilah, agama memiliki seribu nyawa. Dibunuh satu, masih hidup 999. Dari sudut pandang psikologi-tasawuf, dorongan seseorang untuk beragama tidak mungkin mati karena setiap manusia menerima ruh ilahi yang senantiasa merindukan Tuhannya, sedangkan ruh tidak mengenal kehancuran dan kematian karena ruh bersifat immateri dan abadi. Begitu banyak tanda-tanda keberadaan dan keagungan Tuhan. Begitu banyak problem, misteri, dan keindahan hidup yang mendorong manusia berpikir, siapa pencipta semua ini kalau bukan Tuhan. Seorang seniman yang hatinya telah tercerahkan sambil memandang sekuntum mawar berkata: "God never puts His name on the rose, because no one else makes the rose." Ungkapan senada bisa diperpanjang, misalnya: "God never puts His name on the sky, because no one else has ability to make it." (dari berbagai sumber).
Uni Soviet, RRC maupun Korea Utara ketiganya pernah dikenal sebagai rejim yang memusuhi agama, mereka menyatakan anti Tuhan. Rakyatnya dipaksa menyembah para pemimpinnya. Pemerintah melarang agama, tetapi peraturan dan doktrin partai komunis tak ubahnya syariah agama.
Banyak pemikir dan pemimpin dunia yang mengingkari Tuhan dan anti agama. Namun, di antara mereka ada yang memiliki pengikut besar. Bisa jadi karena kekuatan gagasannya yang tersebar melalui buku-buku, atau karena kekuasaan politik yang dimiliki. Sebut saja di antara mereka adalah Karl Marx, Engels, Lenin, Nietzche, Sartre, Sigmund Freud, Michael Baqunin, August Comte, Charles Darwin, Bertrand Russel dan beberapa nama lain yang pemikirannya berseliweran masuk ruang kuliah di kampus.
Semakin terbukanya jalur, sarana dan forum komunikasi lintas agama, budaya dan bangsa, dunia terasa semakin hiruk-pikuk, termasuk wacana keagamaan. Jutaan buku dan artikel pernah terbit, yang isinya ada yang bernafsu sekali ingin meyakinkan pembacanya bahwa agama tak lagi diperlukan oleh masyarakat modern. Agama tak lebih dari sebuah khayalan orang-orang frustasi dan kalah bersaing dalam perjuangan politik dan ekonomi. Menurut mereka, agama adalah jalan pelarian dari kekalahan. Agama menawarkan hiburan berupa proyeksi dan harapan palsu tentang surga di masa depan agar hidup tetap survive dan beban hidup menjadi ringan. Lebih jauh lagi dikatakan, agama akhirnya jadi sumber masalah sosial, bukannya bagian dari solusi sosial.
Demikianlah, beragam teori dan jutaan lembar buku telah beredar dengan maksud untuk membunuh pemikiran dan gerakan keagamaan. Namun ternyata keyakinan mereka meleset. Agama tidak pernah mati. Kehidupan justru menjadi semakin bermakna ketika agama difahami dan diamalkan dengan benar. Sampai-sampai muncul istilah, agama memiliki seribu nyawa. Dibunuh satu, masih hidup 999. Dari sudut pandang psikologi-tasawuf, dorongan seseorang untuk beragama tidak mungkin mati karena setiap manusia menerima ruh ilahi yang senantiasa merindukan Tuhannya, sedangkan ruh tidak mengenal kehancuran dan kematian karena ruh bersifat immateri dan abadi. Begitu banyak tanda-tanda keberadaan dan keagungan Tuhan. Begitu banyak problem, misteri, dan keindahan hidup yang mendorong manusia berpikir, siapa pencipta semua ini kalau bukan Tuhan. Seorang seniman yang hatinya telah tercerahkan sambil memandang sekuntum mawar berkata: "God never puts His name on the rose, because no one else makes the rose." Ungkapan senada bisa diperpanjang, misalnya: "God never puts His name on the sky, because no one else has ability to make it." (dari berbagai sumber).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar