Mau dipikirkan ataukah tidak, kematian itu begitu dekat. Setiap saat kematian semakin mendekati kita. Andaikan hati dan pikiran bisa meyakini bahwa kematian itu adalah akhir kehidupan di dunia ini, yang berarti di balik kematian tak ada lagi kehidupan, mungkin kita tak begitu peduli pada agama.
Jika demikian agama itu mengajarkan hal yang tidak nyata, abstrak. Agama hanya akan mengurangi kenikmatan hidup di dunia ini, begitu kata kelompok orientalis tadi.
Cobalah kita berpikir, siapa yang pertama kali membuat “patokan-patokan” waktu yang dimulai dengan menit, jam, hari, tanggal, minggu, bulan, dan tahun? Bukankah itu semua hanyalah sebuah konstruksi kognitif yang kemudian kita anggap nyata? Bukankah “patokan-patokan” tadi adakalanya menjadi tembok yang memenjarakan kita?
Demikainlah kita dari dulu hingga sekarang seperti-nya hanya berkutat di situ-situ saja tak bergerak dan tidak kemana-mana. Kita hanya di tempat yang bernama ruang dan waktu. Kita semua tidak bisa menghitung dan menjangkaunya.
Di dalam ruang dan waktu itu, ada peristiwa kelahiran dan kematian. Ada kalanya kita berpikir, kehadiran kita di muka bumi ini tak ubahnya sebuah kerikil kecil yang terlempar di danau yang menciptakan riak kecil, lalu menghilang tanpa bekas. Secara fisik, apa bedanya manusia di bumi ini dengan seekor tikus ataupun belalang yang bebas berkeliaran di sawah.
Sosok kematian yang begitu angkuh tak terkalahkan dan tak kenal kompromi membuat kita selalu protes kepada pemilik dan perancang kelahiran dan kematian. Bagaimana kita mesti menyikapi semua ini? Ketika seorang yang kaya raya yang kita kagumi terserang stroke sehingga tak berdaya dan tak segagah saat masih sehat, kita menjadi tersadar betapa sesungguhnya rapuh dan lemahnya diri kita. Pantas agama mengajarkan untuk selalu bersikap rendah hati, karena harta, maupun pangkat tidak ada yang abadi dan semuanya mudah sekali lepas dari diri kita.
Drama hidup penuh dengan misteri. Dan kematian bisa mengubah jalan hidup seseorang serta keluarga hanya dalam hitungan menit. Setiap orang tidak bisa lolos darinya, namun kita semua tidak tahu kapan dan bagaimana itu terjadi. Begitu absolut dan misterinya kematian sehingga semua yang ada ini sesungguhnya rapuh dan tak berdaya di hadapannya.
Sekali lagi, andaikan benar setelah kematian tak ada kehidupan, orang cenderung memilih dunia tanpa ada perasaan bertanggung jawab. Nikmati kehidupan, dengan cara apapun nikmati hidup ini.
Secara mayoritas orang tetap ingin hidup dan orang enggan meninggalkan dunia. Bukan karena mereka takut neraka, tetapi lebih dikarenakan berat untuk berpisah dari dunia. Bayangan anak-anak dan teman dekat serta rumah tinggal yang telah dinikmati selama ini sungguh merupakan daya pikat dan daya ikat yang sangat kuat sehingga kehidupan ini tetap lebih menarik ketimbang kehidupan akhirat yang belum pernah dialami.
Bagaimanapun indahnya gambaran surga dan betapa mengerikannya gambaran neraka, karena semuanya belum pernah dialami, maka bayang-bayang dan berita akhirat belum tentu mempengaruhi perilaku seseorang. Buktinya, banyak orang yang tetap melanggar hukum Tuhan tanpa rasa takut karena berbagai alasan. “Ah! Aku berdosa terhadap-Nya, walaupun hati merasa takut, namun aku sangat mempercayai ampunan-Nya yang tak terbatas, aku ber-dosa dan tak tahu malu, dengan berani bergantung kepada ampunan-Nya yang tak terbatas”.
Begitulah manusia meyakini bahwa Tuhan Maha Pengampun dan banyak jalan yang diajarkan para ustadz dan kyai bagaimana caranya membuat kalkulasi dosa dan pahala sehingga rasa takut siksa neraka dengan mudah bisa diusir dari pikiran seseorang.
Ada lagi yang bersikap pasrah pada Tuhan, mirip anak nakal dan anak manja yang dengan penuh harap dan optimis kembali kepelukan ibu tanpa rasa takut karena yakin kasih Tuhan jauh melebihi kasih orang tua pada anaknya, sekalipun nakal. Begitulah, terdapat beragam pandangan dan respons orang terhadap kematian.
Jika demikian agama itu mengajarkan hal yang tidak nyata, abstrak. Agama hanya akan mengurangi kenikmatan hidup di dunia ini, begitu kata kelompok orientalis tadi.
Cobalah kita berpikir, siapa yang pertama kali membuat “patokan-patokan” waktu yang dimulai dengan menit, jam, hari, tanggal, minggu, bulan, dan tahun? Bukankah itu semua hanyalah sebuah konstruksi kognitif yang kemudian kita anggap nyata? Bukankah “patokan-patokan” tadi adakalanya menjadi tembok yang memenjarakan kita?
Demikainlah kita dari dulu hingga sekarang seperti-nya hanya berkutat di situ-situ saja tak bergerak dan tidak kemana-mana. Kita hanya di tempat yang bernama ruang dan waktu. Kita semua tidak bisa menghitung dan menjangkaunya.
Di dalam ruang dan waktu itu, ada peristiwa kelahiran dan kematian. Ada kalanya kita berpikir, kehadiran kita di muka bumi ini tak ubahnya sebuah kerikil kecil yang terlempar di danau yang menciptakan riak kecil, lalu menghilang tanpa bekas. Secara fisik, apa bedanya manusia di bumi ini dengan seekor tikus ataupun belalang yang bebas berkeliaran di sawah.
Sosok kematian yang begitu angkuh tak terkalahkan dan tak kenal kompromi membuat kita selalu protes kepada pemilik dan perancang kelahiran dan kematian. Bagaimana kita mesti menyikapi semua ini? Ketika seorang yang kaya raya yang kita kagumi terserang stroke sehingga tak berdaya dan tak segagah saat masih sehat, kita menjadi tersadar betapa sesungguhnya rapuh dan lemahnya diri kita. Pantas agama mengajarkan untuk selalu bersikap rendah hati, karena harta, maupun pangkat tidak ada yang abadi dan semuanya mudah sekali lepas dari diri kita.
Drama hidup penuh dengan misteri. Dan kematian bisa mengubah jalan hidup seseorang serta keluarga hanya dalam hitungan menit. Setiap orang tidak bisa lolos darinya, namun kita semua tidak tahu kapan dan bagaimana itu terjadi. Begitu absolut dan misterinya kematian sehingga semua yang ada ini sesungguhnya rapuh dan tak berdaya di hadapannya.
Sekali lagi, andaikan benar setelah kematian tak ada kehidupan, orang cenderung memilih dunia tanpa ada perasaan bertanggung jawab. Nikmati kehidupan, dengan cara apapun nikmati hidup ini.
Secara mayoritas orang tetap ingin hidup dan orang enggan meninggalkan dunia. Bukan karena mereka takut neraka, tetapi lebih dikarenakan berat untuk berpisah dari dunia. Bayangan anak-anak dan teman dekat serta rumah tinggal yang telah dinikmati selama ini sungguh merupakan daya pikat dan daya ikat yang sangat kuat sehingga kehidupan ini tetap lebih menarik ketimbang kehidupan akhirat yang belum pernah dialami.
Bagaimanapun indahnya gambaran surga dan betapa mengerikannya gambaran neraka, karena semuanya belum pernah dialami, maka bayang-bayang dan berita akhirat belum tentu mempengaruhi perilaku seseorang. Buktinya, banyak orang yang tetap melanggar hukum Tuhan tanpa rasa takut karena berbagai alasan. “Ah! Aku berdosa terhadap-Nya, walaupun hati merasa takut, namun aku sangat mempercayai ampunan-Nya yang tak terbatas, aku ber-dosa dan tak tahu malu, dengan berani bergantung kepada ampunan-Nya yang tak terbatas”.
Begitulah manusia meyakini bahwa Tuhan Maha Pengampun dan banyak jalan yang diajarkan para ustadz dan kyai bagaimana caranya membuat kalkulasi dosa dan pahala sehingga rasa takut siksa neraka dengan mudah bisa diusir dari pikiran seseorang.
Ada lagi yang bersikap pasrah pada Tuhan, mirip anak nakal dan anak manja yang dengan penuh harap dan optimis kembali kepelukan ibu tanpa rasa takut karena yakin kasih Tuhan jauh melebihi kasih orang tua pada anaknya, sekalipun nakal. Begitulah, terdapat beragam pandangan dan respons orang terhadap kematian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar