Si Udin juga memiliki seorang tetangga Yahudi, yang setiap hari mendengarkan doanya. Suatu hari, tetangga Yahudi itu hendak menguji Udin. Dia menaruh uang banyak dalam sebuah pundi. Ketika datang waktu sahur, seperti biasa, Udin mulai berdoa dengan doa yang biasa dilakukannya. Orang Yahudi itu pun melemparkan pundi itu ke dalam rumah Udin melalui cerobong asap. Lalu si Yahudi itu mengintip dan memperhatikan apa yang bakal dilakukan Udin.
Melihat pundi berisikan uang itu, Udin bersyukur kepada Allah dan mengucapkan Alhamdulillah, karena Allah telah mengabulkan doanya. Udin mengambil kantung itu dengan tenang dan sopan. Lalu, Udin menyembunyikan kantung uang tersebut. Melihat itu, dengan segera orang Yahudi itu pergi ke rumah Udin sambil tertawa dan berkata, “Kembalikan uangku itu! Aku hanya ingin menguji dan mempermainkanmu agar aku tahu kesungguhanmu dalam berdoa memohon rezeki.”
Dengan penuh heran, Udin berkata kepada Yahudi itu, “Uang mana yang kau maksud? Apakah engkau pernah meminjami-ku uang?” Orang Yahudi itu menjawab, “Tidak, wahai tuan, sesungguhnya uang itu bukanlah uang yang kamu mohon kepada Tuhanmu, tetapi itu uangku yang kulemparkan lewat cerobong asap rumahmu ini.”
Udin berkata padanya, “Gila kamu, cerita macam ini tidak akan ada yang mempercayainya. Apakah engkau pernah mendengar, di zaman sekarang ini, ada seorang Yahudi yang terlintas dalam benaknya untuk memberikan uang sebanyak itu kepada orang lain lewat cerobong asap? Sungguh, uang kudapatkan itu adalah bukti nyata terkabulnya doaku, dan itu datang dari khazanah kekayaan Allah swt yang Maha luas.”
Lalu, terjadilah perselisihan di antara keduanya, dan Udin bersikeras pada pendapatnya. Setelah melihat Udin begitu kuat dalam mempertahankan keyakinannya, orang Yahudi itu berkesimpulan bahwa perselisihan itu tidak akan terselesaikan kecuali bila diajukan pada seorang hakim. Orang Yahudi itu berkata pada Udin, “Untuk mengakhiri perselisihan ini, sebaiknya kita pergi ke seorang hakim.”
Udin menjawab, “Jika itu yang kau harapkan, mari kita pergi ke sana. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak dapat pergi ke tempat hakim itu dengan berjalan kaki. Sebab, di samping rumahnya jauh, aku juga tidak tahan dengan hawa dingin. Sementara, aku tidak mempunyai baju tebal tuk menyelimuti tubuhku.”
Yahudi itu berkata padanya, “Aku akan sediakan tukmu keledai dan baju mantel tebal.” Lalu, keduanya pergi menuju rumah seorang hakim.
Setelah kedua orang itu masuk ke rumah seorang hakim, si Yahudi itu membeberkan persoalannya. Setelah selesai, hakim itu berkata pada Udin, “Lalu, bantahan apa yang akan kau katakana dalam kasus ini?”
Udin pun angkat bicara, “Wahai hakim, dia telah mengada-ada. Aku tidak mendapatkan uang darinya, namun aku memperoleh uang itu dari anugerah Tuhanku yang Mahaderma kepada hamba-Nya. Sehingga, dakwaan itu sangat tidak logis dan tak dapat diterima. Seandainya ada seorang yang akan mati kelaparan pun, karena kikirnya, dia tidak akan memberikan bahkan sepotong roti pun. Lantas, bagaimana mungkin dia akan memberikan kepadaku uang sebanyak itu. Sungguh, dia ingin menipuku dan merampas seluruh hartaku ini. Mungkin saja sebentar lagi dia akan mengaku bahwa keledai yang kutunggangi itu dan baju mantel yang kupakai ini adalah miliknya juga.”
Mendengar kata-kata Udin, Yahudi itu pun terkejut dan takut akan kehilangan keledai serta mantelnya. Dia lalu berkata pada Udin, “Apakah keledai dan mantelku itu akan kau dakwa menjadi milikmu juga? Sungguh aku merasa kasihan padamu karena engkau seorang yang tua, sehingga kubiarkan mengendarai keledaiku dan aku berjalan kaki!”
Udin berkata kepada hakim, “Wahai tuan Hakim, bukankah telah Anda dengar ucapannya? Mulai hari ini, saya tidak akan mempercayainya. Sungguh aneh orang ini, segala milikku dia dakwa menjadi miliknya.”
Setelah mendengar perang kata-kata antara ke dua orang itu, hakim lalu berdiri dan berkata, “seluruh dakwaanmu itu bohong dan tidak benar. Kamu ingin merampas harta milik orang tua yang patut dikasihani ini.”
Orang Yahudi itu pun keluar sambil menangis dan mengadukan nasibnya yang malang itu. Sementara, Udin menunggangi keledai dan pulang ke rumahnya dengan tenang. Tak lama setelah orang Yahudi itu tiba di rumahnya, Udin pun segera pergi ke rumah Yahudi itu dan mengembalikan seluruh harta miliknya, tanpa berkurang satu sen pun, begitu juga keledai dan mantelnya. Udin lalu berkata padanya, “Janganlah engkau turut campur dalam urusan hamba dengan Tuhannya. Sebab, itu akan membuat cemas dan gelisah hati seorang hamba.”
Ternyata, kejadian itu menjadi pelajaran besar bagi orang Yahudi itu. Udin, sing ada lawan!
Dengan penuh heran, Udin berkata kepada Yahudi itu, “Uang mana yang kau maksud? Apakah engkau pernah meminjami-ku uang?” Orang Yahudi itu menjawab, “Tidak, wahai tuan, sesungguhnya uang itu bukanlah uang yang kamu mohon kepada Tuhanmu, tetapi itu uangku yang kulemparkan lewat cerobong asap rumahmu ini.”
Udin berkata padanya, “Gila kamu, cerita macam ini tidak akan ada yang mempercayainya. Apakah engkau pernah mendengar, di zaman sekarang ini, ada seorang Yahudi yang terlintas dalam benaknya untuk memberikan uang sebanyak itu kepada orang lain lewat cerobong asap? Sungguh, uang kudapatkan itu adalah bukti nyata terkabulnya doaku, dan itu datang dari khazanah kekayaan Allah swt yang Maha luas.”
Lalu, terjadilah perselisihan di antara keduanya, dan Udin bersikeras pada pendapatnya. Setelah melihat Udin begitu kuat dalam mempertahankan keyakinannya, orang Yahudi itu berkesimpulan bahwa perselisihan itu tidak akan terselesaikan kecuali bila diajukan pada seorang hakim. Orang Yahudi itu berkata pada Udin, “Untuk mengakhiri perselisihan ini, sebaiknya kita pergi ke seorang hakim.”
Udin menjawab, “Jika itu yang kau harapkan, mari kita pergi ke sana. Akan tetapi, aku sudah tua dan tidak dapat pergi ke tempat hakim itu dengan berjalan kaki. Sebab, di samping rumahnya jauh, aku juga tidak tahan dengan hawa dingin. Sementara, aku tidak mempunyai baju tebal tuk menyelimuti tubuhku.”
Yahudi itu berkata padanya, “Aku akan sediakan tukmu keledai dan baju mantel tebal.” Lalu, keduanya pergi menuju rumah seorang hakim.
Setelah kedua orang itu masuk ke rumah seorang hakim, si Yahudi itu membeberkan persoalannya. Setelah selesai, hakim itu berkata pada Udin, “Lalu, bantahan apa yang akan kau katakana dalam kasus ini?”
Udin pun angkat bicara, “Wahai hakim, dia telah mengada-ada. Aku tidak mendapatkan uang darinya, namun aku memperoleh uang itu dari anugerah Tuhanku yang Mahaderma kepada hamba-Nya. Sehingga, dakwaan itu sangat tidak logis dan tak dapat diterima. Seandainya ada seorang yang akan mati kelaparan pun, karena kikirnya, dia tidak akan memberikan bahkan sepotong roti pun. Lantas, bagaimana mungkin dia akan memberikan kepadaku uang sebanyak itu. Sungguh, dia ingin menipuku dan merampas seluruh hartaku ini. Mungkin saja sebentar lagi dia akan mengaku bahwa keledai yang kutunggangi itu dan baju mantel yang kupakai ini adalah miliknya juga.”
Mendengar kata-kata Udin, Yahudi itu pun terkejut dan takut akan kehilangan keledai serta mantelnya. Dia lalu berkata pada Udin, “Apakah keledai dan mantelku itu akan kau dakwa menjadi milikmu juga? Sungguh aku merasa kasihan padamu karena engkau seorang yang tua, sehingga kubiarkan mengendarai keledaiku dan aku berjalan kaki!”
Udin berkata kepada hakim, “Wahai tuan Hakim, bukankah telah Anda dengar ucapannya? Mulai hari ini, saya tidak akan mempercayainya. Sungguh aneh orang ini, segala milikku dia dakwa menjadi miliknya.”
Setelah mendengar perang kata-kata antara ke dua orang itu, hakim lalu berdiri dan berkata, “seluruh dakwaanmu itu bohong dan tidak benar. Kamu ingin merampas harta milik orang tua yang patut dikasihani ini.”
Orang Yahudi itu pun keluar sambil menangis dan mengadukan nasibnya yang malang itu. Sementara, Udin menunggangi keledai dan pulang ke rumahnya dengan tenang. Tak lama setelah orang Yahudi itu tiba di rumahnya, Udin pun segera pergi ke rumah Yahudi itu dan mengembalikan seluruh harta miliknya, tanpa berkurang satu sen pun, begitu juga keledai dan mantelnya. Udin lalu berkata padanya, “Janganlah engkau turut campur dalam urusan hamba dengan Tuhannya. Sebab, itu akan membuat cemas dan gelisah hati seorang hamba.”
Ternyata, kejadian itu menjadi pelajaran besar bagi orang Yahudi itu. Udin, sing ada lawan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar